Iklan

Kasus Vaksin Palsu Muncul Akibat Kelangkaan

Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nila Moeloek menilai  kasus vaksin palsu muncul akibat langkanya stok vaksin impor yang beredar di Indonesia. Menurut penelusuran Badan Reserse Kriminal Kepolisian RI, saat itulah muncul penawaran vaksin berharga murah dari para produsen vaksin palsu.

"Waktu itu terjadi kelangkaan vaksin impor. Saya waktu itu dapat SMS dari dokter anak," kata Menteri Nila dalam rapat bersama Komisi IX Dewan Perwakilan Rakyat, Kamis (14/7).

Nila menjelaskan, vaksin impor ini pada dasarnya sama dengan yang diproduksi Biofarma. Tapi memang ada masyarakat menengah ke atas dan rumah sakit yang menyukai vaksin impor karena tidak memberi efek demam.

"Semua vaksin yang dipalsukan adalah vaksin dengan harga jual mahal, vaksin impor. Vaksin lokal belum ditemukan lokal," ucap Kepala Bareskrim Komisaris Jenderal Ari Dono dalam kesempatan yang sama.

Nila menambahkan, saat terjadi kelangkaan vaksin impor, pihaknya telah memberi anjuran menggunakan vaksin dari Biofarma.

"Bukannya kami tidak bisa mengimpor, tapi memang langka stoknya secara global," tuturnya.

Sementara itu dokter spesialis anak Rumah Sakit Ibu Anak (RSIA) Mutiara Bunda di Jalan H.Mencong Ciledug, Kota Tangerang, dr.Toniman Koeswadjaja mengatakan, telah membeli vaksin DPT dari seorang medical representative pada Juni 2016, yang belakangan diketahui palsu. "Harga per ampulnya dua ratus ribu rupiah," kata Toniman saat ditemui di rumah sakitnya, Jumat, 15 Juli 2016.

Dia mengatakan telah memesan dan membayar sesuai faktur pembelian vaksin Tripacea sebanyak 130 vial dengan total nilai yang dibayarkan Rp 26 juta. Tercatat pada faktur transaksi pembelian dilakukan pada 23 Juni 2016. Ia menolak menjelaskan berapa harga vaksin asli, yang biasanya dia beli. Namun di sebuah blog yang memuat harga vaksin, jenis itu berharga sekitar Rp 350 ribu.

Toniman mengatakan tidak tahu kalau vaksin DPT yang dibelinya palsu. "Saya tidak mengecek, kemasannya sama dengan yang dulu (pabrikan). Mungkin kalau dibuka isinya, baru ketahuan palsu," kata Toniman.

Toniman mengatakan vaksin yang dibeli itu merupakan vaksin DPT tanpa efek panas, jenis vaksin ini memang diminati orangtua pasien sebab tidak menimbulkan suhu panas.  "Banyak permintaan vaksin DPT yang tidak panas orangtua menghindari anaknya panas bahkan kejang," kata Toniman.

Maka begitu ada tawaran vaksin DPT dari seorang sales obat, Toniman langsung sepakat dan memesannya, apalagi persediaan vaksin DPT kosong sejak awal 2016 hingga pertengahan tahun. Namun Toniman mengatakan, vaksin palsu itu belum ada yang dipakai sampai akhirnya disita kepolisian.

"Saya tidak begitu kenal medical representativenya. Mereka kan banyak menunggu saya keluar praktik, lalu menawarkan obat, vaksin. Komunikasi lewat telepon saja jadi saya tidak hafal orangnya seperti apa dari perusahaan apa," kata Toniman.

Toniman mengatakan tidak curiga harga lebih murah, dia pikir ada vaksin asli karena pemodalnya besar sehingga melakukan potongan harga.

Kepala Dinas Kesehatan Kota Tangerang Roostiwie dihubungi Tempo terpisah mengatakan melakukan pengawasan melekat terhadap RSIA Mutiara Bunda. "Tim kami sedang di lapangan, kami ikuti prosedur dan petunjuk pusat, kalau memang harus dipanggil ya kami panggil yang bersangkutan (-Toniman)," kata Roostiwie.

Roostiwie juga menyayangkan pembelian vaksin palsu itu. "Mestinya dokter tahu dan curiga dengan harga murah, karena itu peluang cari untung,"katanya.

Oleh karenanya Roostiwie meminta agar klinik, bidan dan rumah sakit mengikuti prosedur dalam membeli obat dan vaksin, yaitu dari dustributor resmi.

Salah satu orang tua pasien Rumah Sakit Harapan Bunda, Ciracas, Jakarta Timur, menduga anaknya telah menjadi korban vaksin palsu sehingga saat ini tumbuh kembang anaknya terganggu. Ridsa, orang tua itu, mengungkapkan anaknya sakit diare dan panas setelah menjalani vaksin di rumah sakit tersebut pada akhir 2015. "Setelah periksa darah katanya banyak bakteri," katanya, Jumat, 15 Juli 2016.

Saat itu, Ridsa mengobatkan anaknya di Rumah Sakit Sentra Medika. Namun kondisi kesehatan anaknya terus mengalami gangguan hingga tidak bisa bicara meski saat ini usianya sudah mencapai dua tahun. "Sejak itu anak saya gak bisa bicara," ujar ibu muda itu.

Padahal, menurut Ridsa, anaknya pintar mengoceh ketika masih bayi. Ridsa baru sadar dan menduga anaknya mendapat vaksin palsu setelah marak sejumlah rumah sakit yang menggunakan vaksin palsu.

Orang tua lain juga mengeluhkan adanya gangguan kesehatan pada anak mereka setelah diberi vaksin di Rumah Sakit Harapan Bunda. Intan Nugraha, 26 tahun, mengatakan kesehatan anaknya menurun sejak diberi vaksin pada April 2016.

"Anak saya antibodinya jadi menurun," katanya. "Sudah tiga kali bolak-balik masuk UGD sejak April."

Intan menduga anaknya juga mendapat vaksin palsu. Intan berkisah bahwa anaknya saat itu diantar oleh orang tua Intan untuk vaksinasi. Setelah disuntik, barulah suster rumah sakit memberi tahu bahwa pembayaran dilakukan dengan struk pribadi. Suster itu kemudian memberi struk dengan cap pribadi dokter.

Orang tua Intan lantas diminta membayar Rp 1.750.000 untuk satu vaksin. Namun di struk hanya ditulis Rp 750 ribu. "Suster bilang satu jutanya akan dibayarkan langsung ke kasir," ujar Intan. Kala itu Intan dan keluarga tidak curiga karena mereka berpikir harga yang mahal akan diiringi dengan jaminan kualitas. (BERITA:TEMPO/ GAMBAR:TEMPO)

0 Comments